Konsep hidup sederhana
Satu Jalan Alternatif Menuju Kebahagiaan Yang Hakiki
Mengapa harus hidup sederhana? Di era modern seperti ini? Yang benar saja bung? Apa sih manfaatnya hidup sederhana yang identik dengan nelangsa dan miskin? Bukankah hidup penuh kekayaan dan memfasilitasi diri sebaik mungkin itu lebih baik?
Mungkin nada-nada semacam itulah yang terbersit di benak kita saat melihat judul tulisan ini. Seandainya kita mau menyadari, bahwa inti dari kebahagiaan adalah kesederhanaan. Loh, kok bisa…?
Dalam kitab “Ta’limul Muta’alim” disebutkan, pada hakikatnya tidak ada satupun manusia yang kaya selama ia masih mengharapkan harta kekayaan dari manusia ataupun makhluk Allah yang lain. Seberapapun banyaknya harta seorang saudagar, selama ia masih mengharapkan harga dagangannya laku keras, selama ia masih mengaharapkan ada pembeli datang untuk membeli barang dagangannya, maka ia masih disebut miskin. Seberapa banyak harta seorang pegawai, selama ia masih mengharapkan datangnya gaji bulan depan (apalagi ditambah dengan kenaikan gaji dan bonus-bonus lainnya), maka ia harus menyadari bahwa dirinya masih miskin. Maka sangat tidak pas apabila dengan mempunyai harta yang melimpah membuat orang menjadi takabur dan kikir. Karena hakikinya harta benda yang ia dapatkan juga berasal dari orang lain, dan Allah lah yang mengatur peredarannya. Maka sudah semestinyalah ia berbagi dengan sesama (terutama kepada mereka yag membutuhkan).
Di dalam kitab ini pula dijelaskan, bahwa, tingkatan kemiskinan seseorang itu bukan diukur dari jumlah/besarnya harta yang ia miliki, melainkan diukur dari besarnya kebutuhan yang harus ia penuhi. Semakin besar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, maka semakin miskin lah dia. Untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan analogi berikut.
Salim hidup di dalam suatu rumah sederhana bersama keluarga yang dicintainya. Salim sekeluarga sangat bersyukur dengan rizki yang telah diberikan oleh Allah untuk mereka. Mereka tidak terlalu merisaukan berbagai macam keperluan, kecuali hanya makan dan minum secukupnya dan juga berpakaian yang layak agar dapat terus melanjutkan ibadah kepada Tuhan mereka dan mempunyai cukup energi untuk mencari nafkah keesokan harinya. Begitu juga pada hari berikutnya dan seterusnya, hanya itu-itu saja kebutuhan yang mereka penuhi setiap hari.
Sedangkan Robert hidup di sebuah apartemen mewah dengan fasilitas yang sangat lengkap di dalamnya. Ada AC, kulkas, TV di setiap kamar, kolam renang, area fitness dan kebugaran, studio musik, dan lain sebagainya. Mobilnya pun ada 2 unit. Satu BMW untuk dirinya pribadi khusus untuk berangkat kerja ke kantor. Satu lagi Avanza untuk istrinya dan untuk keperluan keluarganya. Setiap mobil ia tugaskan masing-masing seorang sopir pribadi. Urusan kebun ada pembantunya sendiri. Urusan masak-memasak ada pembantunya sendiri. Selain itu Robert pun harus memenuhi kebutuhan istrinya untuk belanja ke Mall, membeli perhiasan2 mewah, pergi ke salon, dsb. Di samping itu ia juga harus membiayai sekolah anaknya yang kuliah di universitas nomor wahid di Australia, bayar pajak harta bendanya, tagihan listrik yang membengkak, asuransi, kredit mobil dan servis tiap bulan, dan sebagainya dan sebagainya.
Siapa yang lebih kaya/miskin? Siapa yang lebih mudah mengalami stress? Siapa yang punya lebih banyak waktu luang untuk beribadah dan bercengkrama dengan keluarga? Anda tentu sudah bisa menebaknya.
Memang dunia seisinya selalu terlihat menarik dan menggiurkan. Tak ada seorang pun yang menolak jika ditawari gemerlapnya kemewahan dunia berupa harta, tahta dan wanita. Namun sudah menjadi watak dasar manusia yang memang dibekali dengan hawa nafsu, selalu merasa kurang dan kurang. Serasa ingin lebih dan lebih. Suatu saat mampu beli motor, bulan berikutnya ingin beli mobil. Mobil bekas tidak puas dan gengsi bulan berikutnya beli yang baru dan mewah.
Istri satu kurang cantik dan membosankan, cari satu lagi yang lebih cantik. Dua masih belum puas cari lagi untuk kawin yang ke tiga.
Jadi pegawai rendahan merasa malu dan gengsi, punya ambisi untuk jadi Lurah. Setelah jadi, ada pencalonan legislatif tak mau ketinggalan untuk ikut2an nyalon. Setelah jadi, ingin jadi anggota DPR. Begitu seterusnya dan seterusnya.
Namun demikian, sebagai seorang muslim yang beriman, kita sangat dianjurkan untuk tidak terlalu bergelimang dalam kemewahan dunia. Karena harta dunia itu hanyalah kesenangan bagi mereka, orang-orang yang tidak beriman.
الدّنيا سِجنُ المؤمنِ وجَنّة الكافرِ
“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan merupakan sorga bagi orang kafir (Al-Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghozali)”
Imam Ghozali, masih dalam bukunya “Ihya Ulumuddin” menjelaskan, bahwa dunia itu memiliki banyak rahasia-rahasia keburukan. Dunia digambarkan seperti sesosok gadis manis yang membuat seseorang tertarik dan condong kepadanya. Kemudian dunia pergi meninggalkannya, dan membuat kikir orang yang mendapatkannya. Apabila suatu saat dunia berbuat satu kebaikan kepada seseorang, maka ia akan berbuat jahat selama satu tahun. Dunia juga merupakan musuh Allah, karena dunia menghalan-halangi manusia beribadah kepada-Nya.
Terkadang seseorang diberi cobaan berupa harta kekayaan yang melimpah ruah disekelilingnya. Apabila ia tidak serakah dan mampu mengendalikan hawa nafsunya, maka insya Allah ia akan selamat dari jebakan dunia yang sifat nikmatnya hanya sesaat. Dan sebaliknya, apabila ia tergoda dan terlena, niscaya ia pun tersesat di dalamnya.
من الذّنوب ذنوب لايكفّرها إلاّ الهمّ في طلب المعيشةِ
“Dari beberapa dosa, terdapat dosa yang tidak dapat diampuni kecuali dengan mengalami kesusahan/kepayahan dalam mencari nafkah (penghidupan).
Islam tidak melarang manusia untuk mencari harta sebanyak-banyaknya. Allah SWT justru lebih menyukai muslim yang kuat daripada yang lemah. Termasuk di dalamnya dalam urusan dunia. Tapi kita pun harus menyadari, bahwa, di setiap harta yang kita miliki terdapat di dalamnya hak orang lain (Fakir, miskin, dsb.) dan keseluruhannya adalah milik Allah yang dititipkan kepada kita. Jadi jangan sampai karena sibuk menimbun harta, kita justru lupa beribadah kepada Allah SWT. Namun, tidak dapat dipungkiri, kebanyakan manusia dikuasai oleh sifat terlena dan lupa.
Namun kembali kepada pribadi masing-masing, mengingat hidup adalah pilihan. Hidup bergelimang harta atau cukup dalam kesederhanaan juga merupakan sebuah pilihan. Segala sesuatu akan mempunyai nilai pahala jika diniatkan semata-mata untuk beribadah di jalan Allah SWT. Memenej hati dan menata niat adalah kunci dari amal ibadah kita. Hidup penuh dengan harta kekayaan, asalkan diniatkan agar mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk bershodaqoh dan menyalurkannya ke jalan Allah yang lain, juga menghasilkan nilai ibadah yang tinggi. Dengan catatan cara mendapatkannya pun dengan cara yang sudah ditentukan oleh syari’at Islam. Dalam mencari harta tersebut juga tidak menghalang-halanginya dalam beribadah kepada Allah SWT. Serta tidak berlebihan dalam menikmati harta kekayaan tersebut, karena Allah sangat tidak suka (ketertarikan akan dunia) yang berlebih-lebihan.
- - - Tulisan ini dibuat oleh penulis dengan mengambil inti sari dari pengajian kitab kuning “Ta’lim Al-Muta’allim” yang diampu oleh seorang ustadz (Gus Thoriq) pada bulan puasa 1430 H, dan “Sulam At-Taufiq” yag diampu oleh KH. Sirodj Khudlori pada bulan Oktober 2009. keduanya adalah pengasuh Pon-Pes Daarun Najaah, Jrakah Tugu Semarang. (Gus Thoriq merupakan putra ke 6 dari “Mbah Yai” Sirodj Khudlori).